Wednesday, October 10, 2012

Tangan-Tangan Pencabut Nyawa


Awan putih menyapu langit yang nampak muram, kehidupan hutan kini tak lagi tentram. Banyak tangan-tangan pencabut nyawa yang berlomba-lomba ingin memenggal kepala-kepala pohon yang tak berdosa. Berusaha untuk memisahkan mereka dari sanak keluarga.

Suatu hari, ada seorang anak pohon yang penasaran dengan kehidupan nenek moyangnya di masa silam, lalu ia menanyakan hal tersebut pada sang ayah.

“Ayah.. berapa lama nenek moyang kita hidup di dunia?” anak tersebut terlihat antusias. Matanya membelalak menatap sang ayah, berusaha menyimaknya sebaik mungkin.

“Nenek moyang kita dulu hidup lebih dari seratus tahun” ujar ayah ringan.

“Lama sekali.. tapi mengapa sekarang saudara kita banyak yang tewas?” tanyanya heran.

“Ya, itu semua adalah ulah tangan-tangan pencabut nyawa” nafas sang ayah terdengar berat. Ia berusaha untuk mengatur diafragmanya agar napas yang beraroma dendam itu tak tercium oleh anaknya.

“Apakah mereka malaikat?”


“Tidak, nak.. Tapi, mereka serupa malaikat maut bagi kita.“

“Apa maksud perkataan Ayah?” anak itu menatap dalam wajah ayahnya. Kemudian, pandangan matanya beralih pada sosok sang ibu. Lamat-lamat ia memperhatikan tubuh ibunya dari belakang yang sedang mencari selimut untuknya.

“Nanti besok akan Ayah jelaskan, nak.. malam sudah larut. Lebih baik kau lakas tidur” Anak manis itu hanya mengangguk, mengiyakan ucapan ayahnya.

Para kepala keluarga pohon di kampung hutan kini menjadi resah dan was-was sebab kampung mereka mulai dilirik oleh kawanan manusia yang ingin menebang liar atau membumi hanguskan hutan itu untuk kepentingan pribadi, seperti membuka lahan baru untuk di jadikan ladang, pertokoan, perumahan atau di sulap menjadi pusat perbelanjaan modern.

“Ayah,, aku lapar, mengapa matahari hari ini nampak malu-malu?”

“Karena ada awan hitam yang menghalaunya”

“Sampai kapan akan awan hitam itu menutupi matahari?”

“Sampai kau sabar untuk menunggunya, nak..”

“Ayah... aku lapaaaar!”

“Diamlah nak, jangan merengek terus seperti itu, ini zaman krisis.” Ucapnya setengah berbisik.

“maksudnya keris ya, Yah?” anak itu mengulum senyum.

“bukan, nak.. tapi, krisis. Krisis adalah sebuah situasi yang sangat gawat. Saat ini kita sedang dilanda krisis kelaparan, moral dan ahlak. Jadi, sudah sepatutnya kita harus bersabar. Satu hari tak makan pun kau tak akan mati. Lebih baik kau dengarkan cerita ayah tentang tangan-tangan pencabut nyawa” bujuk Ayah.

Anak manis itu mengangguk pelan seakan lupa dengan rasa lapar yang tadi melilit perutnya. Ayah pun mulai bercerita tentang pengalaman pahitnya. Berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika usianya baru berumur 5 tahun, ia melihat pembunuhan secara besar-besaran di kampung hutan. Ia melihat pohon-pohon itu meringis kesakitan karena tubuhnya di potong oleh gergaji mesin. Mereka menangis tanpa henti. Namun, mereka tak dapat melawan takdir yang telah ditentukan oleh tangan-tangan pencabut nyawa. Seandainya mereka dapat bergerak, pohon-pohon yang menjulang tinggi itu pasti akan menginjak-injak tubuh mungil tangan-tangan pencabut nyawa tersebut.

“Nak.. ayah melihat nenekmu di bunuh oleh manusia-manusia serakah itu. Tabahlah dalam menjalani hidup ini, hidup dan mati sudah di atur oleh Tuhan. Keserakahan tangan-tangan pencabut nyawa yang mendzalimi kaum kita akan di balas perbuatannya oleh Yang Maha Kuasa. Itulah pesan terakhir yang diucapkan oleh nenekmu” ucapnya lemas.

“Ayah.. untuk apa kaum kita di bunuh tanpa sebab oleh mereka?” tanyanya dengan hati-hati.

“Mereka ingin memperjual belikan kita secara ilegal, nak..” mata ayah menyiratkan sebuah bara yang tak mungkin dapat di tembus oleh apapun.

“Lalu bagaimana jika populasi kita habis? Bukankah itu akan membuat bumi kehilangan keseimbangannya? ” tanya sang anak.

“Mereka tidak peduli, mereka tidak pernah mau untuk menanam bayi-bayi pohon, karena menurut mereka itu adalah hal yang sia-sia dan melelahkan”

“Apakah mereka tidak di tangkap oleh pihak keamanan hutan?” tanyanya lagi.

“Mereka licik seperti rubah, ada saja hal yang dilakukan untuk mengelabui atau mempengaruhi pihak keamanan”

“Sungguh tragis nasib kaum kita, Ayah..” anak itu memandang keadaan sekitar, merasa seperti ada yang kurang. “Ayah, Ibu kemana? Kok sejak pagi belum terlihat?”

Dengan suara pelan sang ayah berkata, “Saat kau tertidur pulas, ibumu sudah dimutilasi seluruh tubuhnya oleh tangan-tangan pencabut nyawa” Anak pohon itu hanya terdiam, berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan ayahnya.

Tik.. tik.. tik... Perlahan embun beningnya mulai menetes seirama dengan rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi bumi.



-TAMAT- 



No comments: