Semakin
hari, tubuhnya semakin tinggi. Wajah tampan dan manisnya juga semakin
terlihat. Ia serupa diriku, berhidung mancung dan memiliki bibir
tipis yang mungil. Gayanya yang lincah dan periang membuat setiap
orang kerap memujinya. Kulitnya yang kuning langsat ia warisi dari
ayahnya. Hampir setiap sore hari, para tetangga mampir ke rumahku
untuk berbagi cerita atau sekadar melihat tingkahnya yang lucu dan
menggemaskan. Ada saja hal yang membuat mereka tertawa atau berdecak
kagum.
“Pipi
Orion lucu” kata bu Biru. “Lihat, dia pandai dapat menyusun
balok, segitiga dan kubus hingga membentuk sebuah rumah mungil”
“Aku
dan suamiku selalu mengidam-idamkan memiliki anak selucu ini.”
Ungkap Bu Mala yang belum dikaruniai anak, menjelang lima tahun
pernikahannya. Tak lama kemudian, ia menghampiri Orion yang sedang
asyik dengan mainannya. “Ih.. kamu menggemaskan, Sayang” ia
mencubit ke dua pipi bakpao anakku. Yang dicubit diam saja, ia tidak
merasa kesakitan. Padahal, cubitannya sangat keras hingga menyisakan
warna merah di pipinya.
“Rencananya,
Orion mau kamu sekolahkan di mana, Laksmi?” tanyanya setelah ia
kembali duduk ke tempat semula.
“Dia
pasti tambah pandai kalau masuk ke TK yang berskala Internasional,
seperti TK Matahari” ucapnya semangat.
“Iya,
bener tuh, Laks..” sahut bu Ayu yang tiba-tiba ikut buka suara.
“Hampir semua tenaga pengajarnya bule, Laks.. jadi, Orion bisa
belajar bahasa Inggris secara natural. Kalau anak diajari sejak
kecil, dia akan menjadi terbiasa”
“Kamu
tahu Rendy kan?” tanya bu Sakti. Kujawab dengan anggukan kepala.
“Nah, anakku yang nomor dua itu, aku sekolahkan di sekolah TK
Internasional Terimakasih Bunda waktu seumuran Orion. Kamu lihat
hasilnya sekarang, Ia pandai berbahasa Inggris, karena sewaktu
kecilnya sudah mempelajari bahasa Inggris.” Jelas Bu Sakti dengan
panjang lebar dan mata penuh binar.
Aku
hanya menyerap pembicaraan mereka dengan seksama, tanpa mengeluarkan
komentar. Di tengah-tengah pembicaraan, mereka dikejutkan oleh
masing-masing telepon genggamnya yang berbunyi. Suara telepon Bu Mala
paling heboh. Katanya, suaminya menyuruhnya agar lekas pulang, karena
ia ingin segera membuat anak. Kami semua tertawa, karena bisa-bisanya
rahasia rumah tangga menjadi rahasia kami juga.
“Semoga
berhasil ya, Mala.. kali ini harus gol ya.” ujar bu Ayu. Bu Mala
mengedipkan matanya. Kami menyaksikan tubuh bu Mala menghilang dari
balik gerbang. “Hampir magrib, aku pulang dulu ya..” kata bu
Sakti yang diam-diam melirik jam tangannya.
“Aku
juga..” sahut bu Biru dan Bu Ayu.
“Daaahh..
Orion, Tante pulang dulu..” kata mereka bertiga hampir bersamaan.
Sebelum pulang, mereka tak lupa menciumi pipi kiri dan kanan anakku
secara bergantian. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, tidak
menyangka kalau anakku yang masih balita ini sudah menjadi primadona.
**
Malam
ini aku berniat ingin menunggui suamiku pulang. Pak Juned, yang biasa
membukakan pintu gerbang, kusuruh tidur lebih dulu. Tak ada salahnya
jika sesekali aku yang melakukan tugas ini. Orion sudah larut ke alam
mimpi sejak pukul 09.00 malam. Sebelum tidur, kuajari ia mengenal
huruf dan beberapa kosakata bahasa Inggris.
Sebelum
masuk gerbang, suamiku turun dari mobilnya, ketika ia tahu bahwa aku
yang membukakan pintu gerbang untuknya. Aku sudah tahu gelagatnya
yang ingin bertanya, tapi aku berhasil menjawabnya terlebih dahulu
sebelum pertanyaan itu keluar dari mulutnya. “Sudah, Mas, masuk
saja dulu” pintaku.
Kujelaskan
semuanya, lalu ia mendaratkan bibirnya di keningku saat kami menuju
kamar. Peluh keringatnya sudah terserap oleh AC dalam mobil. Tetapi,
aromanya masih menguar hingga ia duduk di sampingku. Kunikmati aroma
itu dengan suka cita. Ia berencana ingin menghangatkan tubuhnya dalam
rendaman air hangat. Ia menawariku. Lantas, aku menerimanya dengan
senang hati.
“Ada
apa, Laksmi?” tanyanya setelah kami mengarungi samudera yang cukup
dalam. Ia mengerti, ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya, dan
ada setumpuk rindu yang ingin aku bagi dengannya.
“Orion
sekarang umur berapa ya, Mas?” kataku mencoba membuka percakapan
dengan sebuah pertanyaan yang akan menjadi titik awal dari lajur
pembicaraan kami.
“Hmm..
empat, hampir lima. Bulan depan nanti, usianya genap lima tahun,
Sayang” ucapnya sembari menyisir rambutku yang menjuntai di atas
bantal.
“Bagaimana
kalau kita sekolahkan di TK bertaraf Internasional, seperti TK
Matahari atau TK Terimaksih Bunda.” Riwayat pendidikan suamiku
cukup membanggakan. Sejak TK hingga kuliah, ia sekolah di tempat yang
bertaraf internasional. Hal tersebut membuatnya pintar dan mudah
mencari kerja. Hubungan Internasional menjadi pilihan jurusan
kuliahnya saat itu. Dan kini, ia bekerja di kedutaan besar Indonesia.
Agaknya, terlalu kelewatan jika manusia sepintar dirinya menolak
ideku. Dan aku yakin, ia pasti akan menyetujuinya.
“Laksmi,
kepintaran seseorang itu bukan diukur dari tempat di mana orang itu
sekolah...” jawabannya di luar dugaanku. Ia tetap tenang, dan masih
menyisiri rambutku dengan jari-jarinya.
“Tapi,
Mas.. kalau kita dapat mengenalkan bahasa asing lebih awal padanya,
itu akan membantu untuk mempermudah proses pembelajarannya. Masa
keemasan Orion akan lebih terarah” timpalku.
Pupil
di dalam bola matanya yang semula mengecil, kini membesar. Hal itu
selalu terjadi saat cahaya kamar kami meredup, lalu padam. Ia tidak
berniat untuk melanjutkan percakapan kami. Tetapi, ia masih berniat
untuk memburuku. Dan lagi-lagi, aku ingin larut dalam buruannya.
**
Orion
sudah kusekolahkan di TK Matahari. Suamiku tak ingin berdebat perihal
itu lagi. Ia yakin, indra penciuman seorang ibu tentang anaknya,
lebih baik dari pada indra penciuman seorang ayah. Karenanya, ia
mengalah. Saban pagi, ia mengantar Orion berangkat ke sekolah dan aku
kebagian tugas untuk menjemputnya. Sesekali Pak Juned menggantikan
tugas kami, jika kami berhalangan karena suatu hal.
Ibu-ibu
tetangga kian memuji kecapakan Orion dalam berbicara bahasa Inggris.
ia sudah bisa mengucapkan I
love my mother, good morning everybody, may i help you? It’s a nice
day dan
masih banyak kalimat lainnya yang tak mampu kuingat. Hingga suatu
hari, kutemukan ia berteriak di sudut kamarnya, “Mom..
please, leave me alone in here. I hate him! He maked me injured*..”
Siapa
lelaki yang Orion maksud? Aku mencoba mendekatinya, tapi teriakannya
menjadi semakin kencang, hingga mengguncang seluruh ruangan di rumah.
Pak Juned yang berada di teras belakang segera menghampiriku. Aku
mengatakan padanya bahwa tidak ada apa-apa. Orion hanya sedang
latihan vokal untuk pentas drama di sekolahnya. Setengah tak percaya,
pak Juned meninggalkanku, kembali ke teras belakang.
“Mama..
aku takut ke sekolah.” Katanya yang beralih menggunakan bahasa
Indonesia, setelah aku berusaha membujuknya untuk tenang dan
menceritakan hal yang membuatnya berteriak.
“Ada
orang dewasa berbadan besar yang ngikutin aku, waktu aku mau masuk
toilet
sekolah.”
Ia tersedu-sedu. Aku berusaha menyeka buliran di matanya yang hampir
tumpah.
“Orang
dewasa itu mau ngapain?” tanyaku penasaran.
“Katanya,
dia mau kasih aku lolipop. Tapi, dia maksa, Mah! Dia ngegesekin
pipisnya ke ujung pantatku...”
ucapnya pilu seraya memegangi kemaluannya. Aku terhenyak.
Tulang-tulangku terasa lapuk,
seluruh
kesadaranku
mulai
luruh.
Kurasakan indra penciumanku sebagai seorang ibu sudah tumpul.
Seharusnya, aku tak percaya sepenuhnya
pada sekolah
bonafid yang
memiliki visi-misi menggiurkan itu.
Segera kurangkul bahu Orion erat-erat. Kuraih telepon genggam yang
ada di dalam saku untuk menceritakan peristiwa ini kepada pihak
sekolah,
tapi hanya jawaban tut..tut.. tut.. yang aku dapatkan.
No comments:
Post a Comment