Thursday, May 8, 2014

AKU TUMPUL

        Semakin hari, tubuhnya semakin tinggi. Wajah tampan dan manisnya juga semakin terlihat. Ia serupa diriku, berhidung mancung dan memiliki bibir tipis yang mungil. Gayanya yang lincah dan periang membuat setiap orang kerap memujinya. Kulitnya yang kuning langsat ia warisi dari ayahnya. Hampir setiap sore hari, para tetangga mampir ke rumahku untuk berbagi cerita atau sekadar melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan. Ada saja hal yang membuat mereka tertawa atau berdecak kagum.
“Pipi Orion lucu” kata bu Biru. “Lihat, dia pandai dapat menyusun balok, segitiga dan kubus hingga membentuk sebuah rumah mungil”
“Aku dan suamiku selalu mengidam-idamkan memiliki anak selucu ini.” Ungkap Bu Mala yang belum dikaruniai anak, menjelang lima tahun pernikahannya. Tak lama kemudian, ia menghampiri Orion yang sedang asyik dengan mainannya. “Ih.. kamu menggemaskan, Sayang” ia mencubit ke dua pipi bakpao anakku. Yang dicubit diam saja, ia tidak merasa kesakitan. Padahal, cubitannya sangat keras hingga menyisakan warna merah di pipinya.
“Rencananya, Orion mau kamu sekolahkan di mana, Laksmi?” tanyanya setelah ia kembali duduk ke tempat semula.
“Aku belum tahu,”
“Dia pasti tambah pandai kalau masuk ke TK yang berskala Internasional, seperti TK Matahari” ucapnya semangat.
“Iya, bener tuh, Laks..” sahut bu Ayu yang tiba-tiba ikut buka suara. “Hampir semua tenaga pengajarnya bule, Laks.. jadi, Orion bisa belajar bahasa Inggris secara natural. Kalau anak diajari sejak kecil, dia akan menjadi terbiasa”
“Kamu tahu Rendy kan?” tanya bu Sakti. Kujawab dengan anggukan kepala. “Nah, anakku yang nomor dua itu, aku sekolahkan di sekolah TK Internasional Terimakasih Bunda waktu seumuran Orion. Kamu lihat hasilnya sekarang, Ia pandai berbahasa Inggris, karena sewaktu kecilnya sudah mempelajari bahasa Inggris.” Jelas Bu Sakti dengan panjang lebar dan mata penuh binar.
Aku hanya menyerap pembicaraan mereka dengan seksama, tanpa mengeluarkan komentar. Di tengah-tengah pembicaraan, mereka dikejutkan oleh masing-masing telepon genggamnya yang berbunyi. Suara telepon Bu Mala paling heboh. Katanya, suaminya menyuruhnya agar lekas pulang, karena ia ingin segera membuat anak. Kami semua tertawa, karena bisa-bisanya rahasia rumah tangga menjadi rahasia kami juga.
“Semoga berhasil ya, Mala.. kali ini harus gol ya.” ujar bu Ayu. Bu Mala mengedipkan matanya. Kami menyaksikan tubuh bu Mala menghilang dari balik gerbang. “Hampir magrib, aku pulang dulu ya..” kata bu Sakti yang diam-diam melirik jam tangannya.
“Aku juga..” sahut bu Biru dan Bu Ayu.
“Daaahh.. Orion, Tante pulang dulu..” kata mereka bertiga hampir bersamaan. Sebelum pulang, mereka tak lupa menciumi pipi kiri dan kanan anakku secara bergantian. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, tidak menyangka kalau anakku yang masih balita ini sudah menjadi primadona.
**
Malam ini aku berniat ingin menunggui suamiku pulang. Pak Juned, yang biasa membukakan pintu gerbang, kusuruh tidur lebih dulu. Tak ada salahnya jika sesekali aku yang melakukan tugas ini. Orion sudah larut ke alam mimpi sejak pukul 09.00 malam. Sebelum tidur, kuajari ia mengenal huruf dan beberapa kosakata bahasa Inggris.
Sebelum masuk gerbang, suamiku turun dari mobilnya, ketika ia tahu bahwa aku yang membukakan pintu gerbang untuknya. Aku sudah tahu gelagatnya yang ingin bertanya, tapi aku berhasil menjawabnya terlebih dahulu sebelum pertanyaan itu keluar dari mulutnya. “Sudah, Mas, masuk saja dulu” pintaku.
Kujelaskan semuanya, lalu ia mendaratkan bibirnya di keningku saat kami menuju kamar. Peluh keringatnya sudah terserap oleh AC dalam mobil. Tetapi, aromanya masih menguar hingga ia duduk di sampingku. Kunikmati aroma itu dengan suka cita. Ia berencana ingin menghangatkan tubuhnya dalam rendaman air hangat. Ia menawariku. Lantas, aku menerimanya dengan senang hati.
“Ada apa, Laksmi?” tanyanya setelah kami mengarungi samudera yang cukup dalam. Ia mengerti, ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya, dan ada setumpuk rindu yang ingin aku bagi dengannya.
“Orion sekarang umur berapa ya, Mas?” kataku mencoba membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan yang akan menjadi titik awal dari lajur pembicaraan kami.
“Hmm.. empat, hampir lima. Bulan depan nanti, usianya genap lima tahun, Sayang” ucapnya sembari menyisir rambutku yang menjuntai di atas bantal.
“Bagaimana kalau kita sekolahkan di TK bertaraf Internasional, seperti TK Matahari atau TK Terimaksih Bunda.” Riwayat pendidikan suamiku cukup membanggakan. Sejak TK hingga kuliah, ia sekolah di tempat yang bertaraf internasional. Hal tersebut membuatnya pintar dan mudah mencari kerja. Hubungan Internasional menjadi pilihan jurusan kuliahnya saat itu. Dan kini, ia bekerja di kedutaan besar Indonesia. Agaknya, terlalu kelewatan jika manusia sepintar dirinya menolak ideku. Dan aku yakin, ia pasti akan menyetujuinya.
“Laksmi, kepintaran seseorang itu bukan diukur dari tempat di mana orang itu sekolah...” jawabannya di luar dugaanku. Ia tetap tenang, dan masih menyisiri rambutku dengan jari-jarinya.
“Tapi, Mas.. kalau kita dapat mengenalkan bahasa asing lebih awal padanya, itu akan membantu untuk mempermudah proses pembelajarannya. Masa keemasan Orion akan lebih terarah” timpalku.
Pupil di dalam bola matanya yang semula mengecil, kini membesar. Hal itu selalu terjadi saat cahaya kamar kami meredup, lalu padam. Ia tidak berniat untuk melanjutkan percakapan kami. Tetapi, ia masih berniat untuk memburuku. Dan lagi-lagi, aku ingin larut dalam buruannya.
**
Orion sudah kusekolahkan di TK Matahari. Suamiku tak ingin berdebat perihal itu lagi. Ia yakin, indra penciuman seorang ibu tentang anaknya, lebih baik dari pada indra penciuman seorang ayah. Karenanya, ia mengalah. Saban pagi, ia mengantar Orion berangkat ke sekolah dan aku kebagian tugas untuk menjemputnya. Sesekali Pak Juned menggantikan tugas kami, jika kami berhalangan karena suatu hal.
Ibu-ibu tetangga kian memuji kecapakan Orion dalam berbicara bahasa Inggris. ia sudah bisa mengucapkan I love my mother, good morning everybody, may i help you? It’s a nice day dan masih banyak kalimat lainnya yang tak mampu kuingat. Hingga suatu hari, kutemukan ia berteriak di sudut kamarnya, “Mom.. please, leave me alone in here. I hate him! He maked me injured*..”
Siapa lelaki yang Orion maksud? Aku mencoba mendekatinya, tapi teriakannya menjadi semakin kencang, hingga mengguncang seluruh ruangan di rumah. Pak Juned yang berada di teras belakang segera menghampiriku. Aku mengatakan padanya bahwa tidak ada apa-apa. Orion hanya sedang latihan vokal untuk pentas drama di sekolahnya. Setengah tak percaya, pak Juned meninggalkanku, kembali ke teras belakang.
“Mama.. aku takut ke sekolah.” Katanya yang beralih menggunakan bahasa Indonesia, setelah aku berusaha membujuknya untuk tenang dan menceritakan hal yang membuatnya berteriak.
“Ada orang dewasa berbadan besar yang ngikutin aku, waktu aku mau masuk toilet sekolah.” Ia tersedu-sedu. Aku berusaha menyeka buliran di matanya yang hampir tumpah.
“Orang dewasa itu mau ngapain?” tanyaku penasaran.
“Katanya, dia mau kasih aku lolipop. Tapi, dia maksa, Mah! Dia ngegesekin pipisnya ke ujung pantatku...” ucapnya pilu seraya memegangi kemaluannya. Aku terhenyak. Tulang-tulangku terasa lapuk, seluruh kesadaranku mulai luruh. Kurasakan indra penciumanku sebagai seorang ibu sudah tumpul. Seharusnya, aku tak percaya sepenuhnya pada sekolah bonafid yang memiliki visi-misi menggiurkan itu. Segera kurangkul bahu Orion erat-erat. Kuraih telepon genggam yang ada di dalam saku untuk menceritakan peristiwa ini kepada pihak sekolah, tapi hanya jawaban tut..tut.. tut.. yang aku dapatkan.


No comments: