Sore itu keadaan masih sama: duduk di samping sebuah tubuh yang dipenuhi oleh beragam jenis selang yang melilitnya. Sebenarnya aku mengantuk karena hampir dua hari mataku belum juga dapat terpejam.
“Tunggu
di sini sebentar, aku mau beli makanan dulu” pinta temanku, kepalanya menyembul
dari balik daun pintu.
Aku mengangguk pelan—tak kuat
menahan beban di mata. Tak lama kemudian aku memilih untuk duduk di sofa,
sepertinya ia pun sudah gatal ingin segera kududuki. Aku merasa ada tangan ibu
yang mengelus rambutku hingga akhirnya mataku terpejam.
“Kau tak
perlu repot-repot mengurus tiket pesawatku untuk terbang ke Tokyo tahun ini..” Aku
mengernyitkan dahi, tak mengerti. Dosenku yang satu ini suka bermain kode, ia
kerap membuat kepalaku dipenuhi oleh tanda tanya.
“Tapi,
Pak... saya sudah mengurus tiketnya” aku bersikeras agar ia mau pergi ke Tokyo.
Ia sudah berjanji akan mengajakku tahun ini untuk ikut bermain dalam grup teaternya,
ia juga berjanji pada kelompok teater akan piknik sambil menikmati bunga sakura
yang indah—yang selama ini hanya dapat kulihat pada layar televisi.
“Tak
perlu... aku sudah memesan tiket untuk pulang” Ia menepuk pundakku sambil
mengembangkan senyumnya, kemudian ia melenggang pergi.
“Pulang? Ia
belum berangkat ke Tokyo tapi sudah memesan tiket untuk pulang? Tak masuk akal!” gumamku.
Mendadak seseorang membangunkanku
yang tertidur pulas di sofa rumah sakit. “Ada apa?” tanyaku padanya yang tak
berhenti mengguncang-guncangkan badanku. “Babe... dosen kita sudah pulang”
ucapnya getir.
Ia
setengah terisak. Matanya meleleh. Tubuhku seketika melemas, remuk seolah aku
adalah hewan avertebrata.***
Aku sudah menelpon Tuhan,
Sudah kutitipkan beribu doa untukmu, Nandang Aradea.
No comments:
Post a Comment