Friday, April 12, 2013

Semantic of Love

Written By: Ratna Dewi Sartika



            "Apa jadinya kalau lambang love dibelah?" aku bertanya pada mahluk manis di hadapanku ini. Kami sedang menikmati rimbunnya pohon angsana. Ia selalu mengajakku duduk di bawah pohon angsana, karena ia tahu bahwa aku sangat menyukai pohon itu. Hingga saat ini, jika gigi Ayah terasa ngilu, angsana dengan sigap selalu mengobatinya. Getahnya begitu ampuh untuk mengobati sakit gigi. Kau tahu? Angsana telah mengingatkanku tentang insiden hujan 'ulat kilan'. Insiden itu terjadi karena tak ada yang memakan ulat-ulat kilan yang sudah beranak pinak sebab jumlah populasi burung gereja yang sering berkeliaran di sekitar rumahku berkurang, diburu oleh anak-anak yang setiap sore berlomba-lomba menangkap burung tersebut menggunakan ketapel. Bisa terbayangkan bagaimana hujan 'ulat kilan'?. hiiiiiii... aku jadi merinding mengingatnya. 
           Ratusan ulat itu jatuh dari atap rumahku, satu persatu, kemudian lama-lama menjadi lebat seperti tetesan hujan. Bedanya, ini yang menetes adalah ulat. Warnanya Hijau, jalannya kilan—satu jengkal setiap kali jalan. Mereka merayap ke lantai, melintasi embok, kemudian masuk ke dalam celah-celah pintu. Aku yang saat itu sedang menyapu rumah, seketika menjerit histeris karena kaget. Mereka seperti ingin menyerangku beramai-ramai. Dengan cepat aku menyapu mereka ke luar rumah. Lalu, kukeluarkan ayam kesayangan adikku, Rostery. Ia mematuki ulat-ulat itu dengan lahap. Sebelum makan, ia tak lupa memanggil istrinya, Chicky dan tiga orang anaknya, Booky, Beeky, dan Biky untuk makan bersama.

"Hei, jangan melamun." Ia mengibas-ngibaskan kelima jarinya dengan senada. Ah, aku tersadar dari lamunanku. "Apa?" tanyanya. Aku mengerutkan dahi, berusaha mencerna kalimat yang ia lontarkan.

"Mikir dulu" ucapku ketus.

"Love dibelah, artinya patah hati?" matanya melotot, nada suaranya terdengar girang. menurutnya, ia sudah berhasil menjawab. 

"Memang kamu lagi patah hati?" entah mengapa, tatapan matanya terlihat sendu. Ah, meskipun begitu, mahluk di hadapanku ini tetap terlihat manis. Ia menatapku dengan penuh tanda tanya, kurasa ia sedang menunggu jawabanku.

"Enggak," jawabku enteng. 

"Terus, kenapa?"

Aku geregetan lihat ekspresi wajahnya yang begitu ekspresif menggambarkan simpati kesedihan seolah aku memang benar-benar patah hati. Kurasa ia buta, tak dapat membaca hatiku.

"Aku gak punya pacar. Gimana bisa patah hati? hmm?" bibirku mengembang. Kulihat alisnya saling bertautan, tangan kanan menopang dagunya. Kubiarkan daun angsana melukis punggungnya terlebih dahulu sebelum aku angkat bicara. 

"Kalau Love dibelah, jadi huruf DD. Dewi-Daman."

Ia diam sejenak, perlahan senyumnya mulai mengembang indah. Ah, senyum yang aku sukai--senyum multimakna. Senyumnya mampu meruntuhkan keakuanku dan mampu meruntuhkan wanita manapun yang melihatnya, termasuk bidadari sekalipun. Ah, Ingin sekali rasanya aku menelpon Tuhan untuk bertanya, "Apakah aku dapat memiliki senyum itu selamanya?" ***


Serang, 22 Maret 2013





No comments: