Tuhan
memberikan sesuatu yang istimewa kepada kita, yakni berupa akal dan pikiran
untuk berpikir, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan mahluk hidup lainnya. Kita
tidak harus berkomunikasi secara verbal setiap saat. Adakalanya kita perlu
bicara dengan bahasa nonverbal yaitu melalui media tulis dan bahasa tubuh. Kita
sering memanfaatkan jejaring sosial seperti twitter
dan facebook untuk menulis sebuah
status. Ada baiknya jika kita membuat status yang bermanfaat, misalnya
menuliskan ide-ide yang ada dalam benak kita ke dalam sebuah bentuk tulisan.
Entah itu, puisi, essai, cerpen, artikel dan sebagainya.
Ide
merupakan pemikiran yang muncul tentang suatu hal. Biasanya ide datang secara
tiba-tiba, lalu menghilang begitu saja tanpa kita sadari. Jika tidak ada kertas
dan pena, kita dapat menumpahkan ide ke dalam jejaring sosial tersebut. Ada
alasan mengapa saya dengan mudah melontarkan kalimat itu. Pertama, pada umumnya
gadget merupakan hal penting yang tak
dapat dipisahkan di era teknologi canggih saat ini. Kedua, dunia maya merupakan
dunia kedua dalam kehidupan masa kini sebagai tempat untuk bernarsis ria.
Ketiga, kita akan mendapatkan penilaian langsung tentang tulisan yang kita
tulis, baik dalam bentuk like maupun
komentar dari orang lain. Hal yang terpenting dari semuanya adalah adanya
sebuah komunitas menulis yang dapat mengkritik tulisan kita. Tidak perlu
khawatir jika tulisan kita dikritik oleh orang lain. Karena, hal itu justru
akan membuat hati kita menjadi semakin membara, dan bara api itu akan menuntun
kita untuk menjadi lebih baik lagi.
Menulis
merupakan sebuah proses menuangkan gagasan, ide dan imajinasi yang bersarang
dalam otak. Semua hal tersebut harus kita tumpahkan agar tidak membeku, bahkan mengerak
di dalam otak. Bagi sebagian orang, menulis dapat mengurangi beban, karena
pikiran tersebut keluar dalam bentuk kata-kata, meskipun bukan dalam bentuk
lisan. Saya termasuk dalam kategori tersebut. Saya lebih senang menyuarakan ide
dalam bahasa nonverbal. Jika menurut Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah sebuah
pengabdian. Maka, bagi saya menulis adalah sebuah aktivitas yang dapat melemparkan
penulisnya ke dalam surga maupun jurang neraka. Karena, tak dapat dipungkiri,
ada saja penulis yang mencoba meracuni pembaca dengan ideologi sesatnya. Penulis
yang baik adalah penulis yang mampu merekam jejak kehidupan manusia, baik dalam
konteks sosial maupun budaya, serta mampu mengurai masalah yang rumit menjadi
sederhana melalui sebuah tulisan.
Pada
hakikatnya, manusia merupakan mahluk yang tidak mau kalah. Dalam konteks ini,
kita sedang membicarakan menulis. Maka, saya garis bawahi dengan kata “Ya”
selama alasan dari pernyataan tersebut berada dalam batasan-batasan positif.
Saya termasuk orang yang enggan menuai kekalahan, meskipun pada akhirnya saya
harus kalah. Saya akan menerimanya, tetapi saya berusaha untuk memperbaiki
kekalahan saya. Saya tak ingin kalah dengan Pramoedya Ananta Toer yang selama
tiga tahun hidupnya dihabiskan di dalam penjara. Namun, tak urung membuat
langkahnya berhenti menulis. Walaupun, tulisannya dilarang beredar, bahkan
dibakar.
Jika
berada dalam titik kegagalan, saya menganalogikan bahwa diri saya adalah Pram
yang sedang di penjara yang karyanya dilarang terbit. Itulah cara saya untuk
menghibur diri. Hingga saat ini saya masih berusaha menggeluti dunia
tulis-menulis dengan cara membaca karya sastra populer maupun sastra serius.
Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma dan Dewi Dee Lestari merupakan segelintir penulis
yang saya kagumi karyanya. Selain Pram, Seno Gumira juga membuat saya marah
atas diri saya sendiri dalam hal manajemen waktu. Sampai saat ini saya masih
ingat dengan kalimat singkatnya dalam sebuah acara sastra di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa kala itu. Ia berkata, “Jika saya memiliki waktu luang, saya
akan membuat novel. Tetapi, jika saya tidak memiliki waktu, saya akan menulis
cerpen.”
Sejak
saat itu, saya selalu berusaha untuk meluangkan waktu saya untuk menulis dan
membaca minimal satu jam setiap harinya. Tetapi, saya tidak ingin aktivitas itu
hanya menjadi rutinitas pribadi. Oleh karena itu, saya mengikuti kelas menulis
rumah dunia agar saya dapat bertemu dengan wajah-wajah baru yang berasal dari
pelbagai latar belakang jenjang pendidikan dan dapat berbagi motivasi ketika
api semangat menulis mulai meredup. Saya ingin seperti Chairil Anwar, meskipun
ia sudah tiada, tetapi kita masih dapat merasakan keberadaannya di sekeliling
kita. Semua itu karena jejak karya-karyanya. Sebenarnya, itu hanya segelintir
alasan, mengapa saya harus menulis dan menjadi penulis. Masih banyak “sebenar-benarnya”
yang lain yang belum tentu dapat saya sampaikan dengan benar.
Salam sastra,
Ratna Dewi Sartika
No comments:
Post a Comment