Monday, April 7, 2014

Catatan: Menumpahkan Ide Agar Tak Mengerak



Tuhan memberikan sesuatu yang istimewa kepada kita, yakni berupa akal dan pikiran untuk berpikir, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan mahluk hidup lainnya. Kita tidak harus berkomunikasi secara verbal setiap saat. Adakalanya kita perlu bicara dengan bahasa nonverbal yaitu melalui media tulis dan bahasa tubuh. Kita sering memanfaatkan jejaring sosial seperti twitter dan facebook untuk menulis sebuah status. Ada baiknya jika kita membuat status yang bermanfaat, misalnya menuliskan ide-ide yang ada dalam benak kita ke dalam sebuah bentuk tulisan. Entah itu, puisi, essai, cerpen, artikel dan sebagainya.


Ide merupakan pemikiran yang muncul tentang suatu hal. Biasanya ide datang secara tiba-tiba, lalu menghilang begitu saja tanpa kita sadari. Jika tidak ada kertas dan pena, kita dapat menumpahkan ide ke dalam jejaring sosial tersebut. Ada alasan mengapa saya dengan mudah melontarkan kalimat itu. Pertama, pada umumnya gadget merupakan hal penting yang tak dapat dipisahkan di era teknologi canggih saat ini. Kedua, dunia maya merupakan dunia kedua dalam kehidupan masa kini sebagai tempat untuk bernarsis ria. Ketiga, kita akan mendapatkan penilaian langsung tentang tulisan yang kita tulis, baik dalam bentuk like maupun komentar dari orang lain. Hal yang terpenting dari semuanya adalah adanya sebuah komunitas menulis yang dapat mengkritik tulisan kita. Tidak perlu khawatir jika tulisan kita dikritik oleh orang lain. Karena, hal itu justru akan membuat hati kita menjadi semakin membara, dan bara api itu akan menuntun kita untuk menjadi lebih baik lagi.

Menulis merupakan sebuah proses menuangkan gagasan, ide dan imajinasi yang bersarang dalam otak. Semua hal tersebut harus kita tumpahkan agar tidak membeku, bahkan mengerak di dalam otak. Bagi sebagian orang, menulis dapat mengurangi beban, karena pikiran tersebut keluar dalam bentuk kata-kata, meskipun bukan dalam bentuk lisan. Saya termasuk dalam kategori tersebut. Saya lebih senang menyuarakan ide dalam bahasa nonverbal. Jika menurut Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah sebuah pengabdian. Maka, bagi saya menulis adalah sebuah aktivitas yang dapat melemparkan penulisnya ke dalam surga maupun jurang neraka. Karena, tak dapat dipungkiri, ada saja penulis yang mencoba meracuni pembaca dengan ideologi sesatnya. Penulis yang baik adalah penulis yang mampu merekam jejak kehidupan manusia, baik dalam konteks sosial maupun budaya, serta mampu mengurai masalah yang rumit menjadi sederhana melalui sebuah tulisan.
Pada hakikatnya, manusia merupakan mahluk yang tidak mau kalah. Dalam konteks ini, kita sedang membicarakan menulis. Maka, saya garis bawahi dengan kata “Ya” selama alasan dari pernyataan tersebut berada dalam batasan-batasan positif. Saya termasuk orang yang enggan menuai kekalahan, meskipun pada akhirnya saya harus kalah. Saya akan menerimanya, tetapi saya berusaha untuk memperbaiki kekalahan saya. Saya tak ingin kalah dengan Pramoedya Ananta Toer yang selama tiga tahun hidupnya dihabiskan di dalam penjara. Namun, tak urung membuat langkahnya berhenti menulis. Walaupun, tulisannya dilarang beredar, bahkan dibakar.
Jika berada dalam titik kegagalan, saya menganalogikan bahwa diri saya adalah Pram yang sedang di penjara yang karyanya dilarang terbit. Itulah cara saya untuk menghibur diri. Hingga saat ini saya masih berusaha menggeluti dunia tulis-menulis dengan cara membaca karya sastra populer maupun sastra serius. Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma dan Dewi Dee Lestari merupakan segelintir penulis yang saya kagumi karyanya. Selain Pram, Seno Gumira juga membuat saya marah atas diri saya sendiri dalam hal manajemen waktu. Sampai saat ini saya masih ingat dengan kalimat singkatnya dalam sebuah acara sastra di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa kala itu. Ia berkata, “Jika saya memiliki waktu luang, saya akan membuat novel. Tetapi, jika saya tidak memiliki waktu, saya akan menulis cerpen.”
Sejak saat itu, saya selalu berusaha untuk meluangkan waktu saya untuk menulis dan membaca minimal satu jam setiap harinya. Tetapi, saya tidak ingin aktivitas itu hanya menjadi rutinitas pribadi. Oleh karena itu, saya mengikuti kelas menulis rumah dunia agar saya dapat bertemu dengan wajah-wajah baru yang berasal dari pelbagai latar belakang jenjang pendidikan dan dapat berbagi motivasi ketika api semangat menulis mulai meredup. Saya ingin seperti Chairil Anwar, meskipun ia sudah tiada, tetapi kita masih dapat merasakan keberadaannya di sekeliling kita. Semua itu karena jejak karya-karyanya. Sebenarnya, itu hanya segelintir alasan, mengapa saya harus menulis dan menjadi penulis. Masih banyak “sebenar-benarnya” yang lain yang belum tentu dapat saya sampaikan dengan benar.



Salam sastra,
Ratna Dewi Sartika

No comments: